Mencari nafkah adalah bagian dari Perintah Tuhan. Manakala berbisnis dalam rangka melaksanakan perintah tersebut, maka bisnis bukan lagi sekedar menghasilkan uang, namun lebih dari itu, ketenteraman hati pun akan otomatis mengiringinya. Bisnis adalah salah satu medan penghambaan kita kepada Tuhan. Sedangkan laba atau rugi hanyalah sebuah konsekuensi logis sebagai akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, sepanjang tujuan niat dan caranya benar, maka tidak ada kata gagal dalam bisnis kita. Ruginya baik, apalagi labanya.

FORMULA HIDUP KAMI

Dari sekian proses perjalanan dan pergulatan hidup kami, kami menemukan berbagai simpul simpul strategis yang, menurut kami, menjadikan proses hidup kami lebih efektif serta lebih effisien. Simpul-simpul tersebut kemudian kami istilahkan dengan Formula Formula Kehidupan. Sebagian dari formula-formula itu akan kami paparkan dibawah ini.


VALIDATOR KENDALI MUTU KEDIRIAN.

Ini adalah Formula Primair bagi kami dibanding formula-formula berikutnya. Dengan formula inilah kami menilai diri, setiap aktifitas, setiap hari, dari hari ke hari.

Manakala kami ada dalam jalur formula tersebut, maka kami menilai bahwa hidup kami bermutu. Dan sebaliknya, manakala kami menyimpang dari formula tersebut berarti hidup kami sedang tidak bermutu. Formula ini pula yang kami jadikan ukuran, apakah kami menuju sukses atau justru sebaliknya.

Formula ini terdiri dari tiga validator kedirian:

  1. Fokus Tujuan.
  2. Waspada Niat.
  3. Konsentrasi Tugas.


1. Fokus Tujuan
Tujuan adalah titik pusat perhatian dan titik pusat sasaran kehidupan. Adalah pusat pengaruh dari seluruh proses kehidupan kita. Adalah pusat grativasi dari seluruh proses perjalanan hidup kita. Adalah panglima hidup kita. Adalah bos-besar dalam diri kita, yang menentukan arah seluruh aktifitas diri kita, baik jiwa, fikir, maupun indra dan fisik kita. Jika dia baik, kita calon manusia baik. Jika dia tinggi, kita calon manusia tinggi. Jika dia besar, kita adalah calon manusia besar. Dan sebaliknya. Dia pula yang akan sangat mempengaruhi mutu dari "niat" dan "aktifitas" kita. Jika dia benar, akan cenderung membawa niat & aktifitas hidup yang benar. Tujuan adalah "bapaknya niat", adalah "kakeknya aktifitas". Niat adalah akibat dari tujuan, sedangkan aktifitas adalah akibat dari niat. Tujuan melahirkan niat-niat, dan niat melahirkan aktifitas-aktifitas.

2. Waspada Niat.
Jika tujuan ada jauh didepan sana, niat selalu bersama diri kita, bersama (mendahului) setiap aktifitas kita. Niat yang baik dihasilkan oleh tujuan yang baik. Dan, niat yang baik akan menghasilkan aktifitas yang baik. Dan sebaliknya. Perbuatan buruk selalu dimulai dari niat buruk. Waspadailah niat kita, maka otomatis kita selalu dalam kewaspadaan dalam bersikap dan beraktifitas. Karena, perbuatan adalah akibat dari niat. Perbaiki tujuan, maka niat kita akan baik, dan aktifitas kitapun mengikuti baik. Jika tujuan baik, lalu terjadi niat buruk, pasti sebelumnya didahului oleh perubahan tujuan. Jika niat baik, lalu terjadi sikap buruk, pasti sebelumnya didahului oleh perubahan niat.

3. Konsentrasi Tugas.
Setiap hari, begitu banyak hal-hal dan masalah yang mesti kita hadapi dan lalui. Kaidahnya adalah dahulukan yang terpenting dari yang penting, abaikan yang tak penting. Dari sekian yang penting, yang mesti diambil adalah yang wajib dan menjadi tugas kita. Dari sederet kewajiban kewajiban, kita mesti urutkan dalam skala prioritas, sehingga jelas mana yang primair dan mana yang sekundair. Konsentrasi tugas, adalah memprioritaskan yang terpenting dari yang penting. Yang bukan tugas, boleh diambil jika tidak mengganggu yang wajib/tugas. Dengan formula ini, hidup kita akan efektif serta efisien dan strategis, tidak overlapping, tidak ngoyoworo...., dan... tak terjebak dengan tetek bengek rutinitas yang penuh dengan iseng dan basa-basi, sementara waktu terus berjalan..., tau-tau.... sudah lansia. (hehe...., kayak saya....).


FORMULA MENAPAK JALAN KEILMUAN.

  1. Taati kebenaran yang telah difahami saat ini.
  2. Cari kebenaran yang lebih tinggi.
  3. Pindah kepada kebenaran yang lebih tinggi itu... dst...
Hingga semakin terdekatkan kepada kebenaran hakiki... sebagaimana yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Tuhan.



Ketiga kaidah tersebut... masing-masing menuntut konsekuensi logisnya, antara lain:

1. Saya harus selalu berani jujur terhadap keilmuan diri: Mustahil saya bersikap melampai ilmu saya. Jangan bergaya tahu bila memang belum tahu. Janganlah kamu membohongi dirimu sendiri.

2. Saya harus selalu menyadari: Bahwa setiap kali satu pintu ilmu berhasil dibuka, terpampang didepan pintu tersebut, ribuan pintu ilmu yang masih tertutup. Tiap satu pintu lagi dibuka... baru terlihat lagi didepannya, berribu pintu lagi yang terlihat masih tertutup.

Begitulah seterusnya... kian ilmu seseorang bertambah, ia akan kian menyadari kebodohannya. Jauh-jauh lebih banyak berlipat-lipat ganda hal-hal yang belum difahami, dibandingkan dengan apa yang sudah bisa difahami.

Bahwa proses belajar harus terus berjalan, demi mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, yang saat ini belum difahami. Dari manapun datangnya, suka ataupun tidak suka, kebenaran adalah tetap kebenaran. Tiada yang berhak menghentikan proses ini, kecuali ketakmampuan atau kematian.

3. Saya harus selelu siap, dan mesti semakin siap: Untuk selalu merefisi pemahaman saya dari saat ke saat. Tidak diperkenankan sama sekali untuk merasa, bahwa saat ini ilmu saya sudah mencapai kebenaran hakiki... bahwa proses keilmuan saya sudah selesai. Siapapun yang keluar dari proses ini, pasti akan terjebak kedalam kubangan stagnasi & kejumudan... atau bahkan bisa jatuh lebih mengerikan lagi... kedalam ujub & takabur.


FORMULA MENAPAK JALAN KEGURUAN.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa... Seluruh keilmuan kita adalah hasil pencerapan kita terhadap informasi. Jika informasi yang masuk itu bermuatan buruk, maka... Kita akan menyerapnya menjadi pemahaman-pemahaman yang buruk.

Masalahnya sekarang... Mungkinkah informasi yang baik bisa keluar dari sumber yang buruk? Jika hanya punya yang buruk, bisakah dia memberikan yang baik. Disinilah masalah sumber informasi itu menjadi sangat menentukan, khususnya terhadap mutu & perkembangan ilmu kita. Sementara itu, kitapun sudah sangat faham, bahwa... Sumber informasi itu tak terhitung jumlahnya. Baik yang melalui media tulisan maupun media lisan. Baik yang melalui media interaksi personal maupun interaksi sosial.

Bagaimana agar kita bisa lebih selektif ditengah berbagai sumber informasi ini?
Kita akan sangat kesulitan jika kita menggunakan gais berfikir horizontal. Apakah yang harus kita jadikan alat-ukur & kriteria-kriterianya. Apa, siapa, dan bagaimananya yang mesti kita pilih & tetapkan sebagai sumber primer informasi. Bahkan kita akan sangat riskan terjebak kedalam subyektifitas keseleraan kita. Bagi yang seleranya tinggi terhadap seni-peran, dia akan mencarinya didunia selebritis. Sedang yang seleranya tinggi terhadap politik, dia akan mencarinya didunia politik. Dst... sesuai dengan kecenderungan masing-masing orang.

Lalu... Bagaimana agar kita bisa lebih selektif ditengah berbagai sumber informasi ini?
Ada garis berfikir yang jauh lebih praktis namun lebih valid, yaitu... Dengan mengembangkan garis berfikir hierarkhi vertikal, yaitu... Dengan mengembangkan cara berfikir tauhidi, yaitu... Menarik dari sumber tertinggi, secara hierarkhis, kita turunkan hingga ke diri kita.

Kurang lebih proses sederhananya tergambarkan sbb:
Sumber kebenaran adalah Tuhan. Tapi kita mesti mengakses kebenaran hakiki tsb melalui Duta-Duta Tuhan. Jika kita telah mampu, kita bisa langsung mengakses ke Beliau itu. Maka kita dengan mantap menetapkan beliau sebagai sumber informasi primer kita. Jika belum mampu akses langsung, kita upayakan bisa akses ke Wakil Beliau. Wakil Beliau itu tentunya yang ditunjuk/ditugasi oleh Beliau sendiri. Tidak bisa disebut Wakil Beliau, manakala ditetapkan atas hasil aklamasi kita. Jika kita belum mampu mengakses langsung ke Sang Wakil tsb... alternatifnya.. Kita berupaya mengakses Wakilnya Sang Wakil tsb. Begitulah seterusnya, kita turunkan, hingga ke hadapan kita. Dari bangunan berfikir itulah maka saya menyimpulkan sebuah formula yang kemudian saya sebut sebagai... FORMULA MENAPAK JALAN KEGURUAN. Dalam rangka berproses merangkak ke atas secara bertahap:

  1. Taati Guru Kebenaran yang ada saat ini.
  2. Cari Guru Kebenaran yang lebih tinggi.
  3. Pindah kepada Guru Kebenaran yang lebih tinggi itu... dst...
Hingga semakin terdekatkan kepada Guru Kebenaran hakiki... Dalam garis hierarkhi yang bersambung kepada Sumber Kebenaran (Tuhan YME).


Ketiga formula tersebut... masing-masing menuntut konsekuensi logisnya, antara lain:

1. Saya harus selalu mentaati Guru Kebenaran saya saat ini.
Saya bisa rasakan dengan jelas manakala mau sedikit serius & cermat. Dari sekian banyak yang serasa pantas kita sebut sebagai Guru... Ada satu diantaranya yang memberikan kontribusi terbanyak dan paling bermutu atas diriku. Beliaulah yang harus ku-posisikan sebagai Guru Kebenaran-ku saat ini. Beliaulah yang telah menjadikan perhatianku terhadap kebenaran makin meninggi. Yang telah menjadikan semangatku terhadap kebenaran kian menggelegak. Yang telah menjadikan kerinduanku terhadap kebenaran kian menggebu. Beliaulah yang telah menjadikan kebutuhanku terhadap Tuhan kian tak tergantikan.

Ringkasnya...
Siapa yang telah mampu mempengaruhiku sehingga lebih dekat kepada Tuhan. Dialah yang harus kita jadikan Guru Kebenaran sementara ini. Dia itu, bagi masing-masing kita bisa berbeda. Dan, ini sangat penting, setiap orang hanya bisa menemukan siapa "dia" itu, hanya jika kita mau serius membanding dengan jujur, jujur yang tanpa syarat.

2. Saya harus selalu mencari Guru Kebenaran yang lebih tinggi.
Saya sangat menyadari, bahwa Guru Kebenaran yang kutemukan saat ini... Belumlah merupakan figur sempurna yang bisa saya jadikan terminal. Saya sangat menyadari, bahwa saya harus terus berproses, ini barulah halte. Saya harus berjalan untuk menuju halte berikutnya. Salah satu kriteria primer untuk bisa lebih meyakini Guru kita saat ini... Apakah Beliau memproses kita untuk diajak ke Guru yang lebih tinggi... Atau malah sebaliknya, dia ingin menjadikan dirinya sebagai terminal...??
Apabila kita selalu diarahkan untuk menemukan Guru kebenaran yang lebih tinggi... berbahagialah, lebih yakinlah, & kian posisikan diri sebagai murid yang baik. Beliau benar-benar bisa kita andalkan sebagai jembatan untuk menuju halte berikutnya.
Sebaliknya... Selalu waspada & makin berhati-hatilah... Jika ternyata beliau itu cemburu & tak rela bila kita mencari guru yang lain. Alih-alih mengajak kita, dia malah marah ketika kita belajar di guru yang lain. Yang begini ini, mesti kita hormati, dengan cepet-cepat mencari guru lain yang lebih tinggi.

Guru SD yang baik, ia akan bersyukur melihat mantan muridnya kini telah di SMA. Guru yang bukan guru, dia tak ingin murid-muridnya berguru kepada selain dirinya. Bagai seorang guru SD, yang maunya kita di SD itu terus. Kagak rela kalau kita pindah ke guru SMP. ....hehee... lucu ya.... Kasus seperti ini aneh tapi nyata. Sepertinya hal yang mustahil, namun terbukti ada. Lihatlah... ironisnya itu justru terjadi di komunitas-komunitas yang berbaju religius. Uhhh.... padahal dilembaga pendidikan formal saja, hal seperti itu sudah sangat aib. Menggemaskan.... sekaligus sangat memprihatinkan.... Justru itu menjamur di majelis-majelis pendidikan yang berbendera agamis !! IRONIS !!